Sejarah Tangisan Seorang Anak

Adalah Ronopawiro atau yang lebih dikenal dengan nama Djakiman, menyunting Nini Ronodikromo yang mempunyai panggilan kecil Nyi Rame. tinggal di Desa Candisari, Yogyakarta. Dari hasil perkawinannya, Nyi rame mempunyai anak putra-putri yaitu Samidjo Mangundimedjo, Saminten Pawirosudarsono, Sukinah Mulyodimejo, Tumirah Martohanggono, Saminun dan Suwarto.

Diantara ke enam putra-putri Nyi Rame, ada salah satu diantaranya sangat rewel, suka menangis menjerit-jerit, yang istilah jawanya disebut berek-berek. Tangisan anak kecil yang berek-berek tersebut kelak bukan hanya akan merubah nama panggilan istri Ronopawiro dari Nyi Rame menjadi Mbok Berek, melainkan juga dapat mengubah nasib para keturunan Mbok Berek.

Tepatnya tidak diketahui, kapan Nyi Rame menyandang nama Mbok Berek. dan entah karena siapa pula yang memulai panggilan sehari-hari Nyi Rame Menjadi Mbok Berek. Yang pasti dengan sebutan barunya itu, Nyi Rame sangat berlapang dada juga tak menjadikan berang sang suami, Ronopawiro. justru sebalinya, panggilan Mbok Berek untuk Nyi Rame yang mempunyai nama asli Nini Ronodikromo ini sangat disukainya. Karena pada kenyataannya memang Nyi Rame adalah seorang ibu yang mempunyai anak yang suka menangis berek-berek.

Akhirnya Nyi Rame yang mempunyai nama asli Nini Ronodikromo menyandang nama baru yaitu Mbok Berek. Sebuah nama julukan untuknya karena anaknya yang sering menangis berek-berek. Ternyata julukan barunya tersebut memberi kesan sangat familiar dan enak didengar. Sangat membantu Mbok Berek dalam berjualan ayam goreng. bahkan boleh dibilang "berek" yang berasal dari"tangisan anak" itu merupakan awal tangis bahagia bagi Mbok Berek. karena nama yang enak didengar tersebut kian waktu kian populer di setiap telinga pecinta ayam goreng. Bahkan kelak nama Mbok Berek akan menjadi sebuah inspirasi penerusnya untuk tetap hidup dengan menjadikan nama Mbok berek sebagai trade mark sebuah restoran ayam goreng khas Yogyakarta.

Saya Mulai Usaha dari Nol

Waktu remaja saya memang mendalami pendidikan keterampilan. Saya ikut kursus kecantikan dan menjahit. Dirumah saya membuka salon. Saya juga memberikan les kepada orang lain.

Waktu remaja sering membantu dan memperhatikan meracik bumbu ayam goreng di Yogyakarya. Saya juga ikut mempraktekannya. Apa saja jenis pekerjaan saya kerjakan.
Saya tak pernah memilih pekerjaan.

Saya ingin menguasai semua bidang. Saya senang bekerja keras. Setelah menikah saya berada di Jakarta, tapi menganggur.
Suami saya sarjana hukum bekerja di ekspedisi muatan kapal laut.

Perekonomian kami pas-pasan. Gaji bapak cukup untuk satu minggu saja. Gajinya hanya Rp. 15.000 per bulan, cukup untuk hidup senin-kamis.
Kami tinggal dirumah saudara saya.

Karena tidak cukup uang belanja dari suami, saya berusaha bekerja untuk menambah pendapatan keluarga. Bermacam barang dagangan saya usahakan.
Saya pernah mengkreditkan bahan batik, baju, perabotan rumah tangga dan lain-lain.

Uang untuk membeli barang-barang itu saya dapatkan dari gaji suami. Setiap awal bulan saya sudah belanja barang dagangan.

Setelah itu saya tagih. Usaha itu tidak berjalan lancar, setiap saya tagih, orang tidak selalu membayar.

Suatu ketika saya tidak punya uang sama sekali untuk makan. Terpaksa saya menjual beras ke tetangga.

Saya coba untuk berjualan ayam goreng Mbok Berek. Saya cicitnya. Orang-orang tidak percaya dan ada juga yang percaya.

Dari situ saya coba untuk berjualan ayam goreng dipasar cikini. Tempatnya kecil. saya tak punya modal. Saya mengutang dengan pedagang ayam.
Dan bumbu minta ke tetangga.

Setiap hari saya hanya menggoreng tiga ekor ayam. Kadang laku kadang tidak. Kalau tidak laku saya bagikan kepada teman-teman dipasar,
karena saya sudah dekat dengan mereka. Begitu sebaliknya, mereka juga memberikan saya sayur-sayuran atau tempe.
karena sudah baik dengan sesama pedagang dipasar, maka kami saling memberi apa yang ada.

Bila suami saya menanyakan tentang barang dagangan. saya katakan saja laku semua, padahal tidak. sebab kalau diberitahu bahwa ayam yang tak laku itu diberikan kepada orang lain,
maka dia akan tersinggung, karena ayam itu ngutang.

Saya berjualan dengan modal kejujuran. Saya membayar hutang yang lama dan mengutang yang baru lagi. Tapi kalau saya tidak punya uang saya katakan kepada pedagang itu tentang dagangan saya yang tidak laku. Tapi saya perlu lagi tambahan. Saya berprinsip harus jujur.

Tak Pernah Jera

Sedikit demi sedikit saya punya modal dan membuka usaha ditempat lain. Semuanya saya kerjakan sendiri. Saya tak pernah jera bekerja, meski usaha jatuh bangun.
Pernah membuka rumah makan di kawasan Jl. Pegangsaan Timur, terus di Jl. Tanjung karang. Tapi ditutup kena gusur.

Pada 1978 saya membuka lagi di Jl. Prof. Supomo yang dikontrak selama lima tahun. Disini usaha kami berkembang dan membuka lagi di Jl. Prof. Supomo No. 10, 14 dan 16 yang kini menjadi kantor pusat, sekaligus rumah saya.